AbstrakPasal 7 Convention on The Elimination of All Forms of Discrimination Against Women (CEDAW) tahun 1979 merupakan konvensi internasional mengenai hak wanita dalam berpolitik. Indonesia telah meratifikasinya, namun belum banyak diketahui oleh masyarakat Indonesia, khususnya aparat penegak hukum dan pemerintah yang membuat kebijakan.Sebagai negara yang menjunjung tingga nilai-nilai kedaulatan warga negaranya, Indonesia perlu memperhatikan penerapan Konvensi CEDAW. Bagaimakah penerapan Konvensi Cedaw di Indonesia ?Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian secara normatif melalui pendekatan yuridis normatif. Penelitian ini merupakan studi yang mengkaji penerapan Pasal 7 A dan B CEDAW dalam hukum nasional Indonesia dengan gambaran secara nyata dan menyeluruh tentang obyek yang diteliti yaitu mulai dari partispasi politik perempuan dan juga keterwakilan perempuan di lembaga politik formal. Tipe penelitian yang digunakan adalah deskriftif.Penerapan Pasal 7 CEDAW tertuang dalam undang-undang nasional Indonesia, namun pelaksanaan hak partisipasi politik perempuan sesuai Pasal 7 A dan B CEDAW belum dapat dikatakan sepenuhnya dilaksanakan karena sistem kuota 30 % belum menjadi “keharusan atau kewajiban” dalam pencalonan hak perempuan untuk berperan di lembaga-lembaga pemerintah sebagaimana tercantum dalam Pasal 65 Undang-undan Pemilihan Umum. Selain itu juga, partai politik tidak benar-benar “memperhatikan” kesetaraan jender untuk mengusung nama perempuan dalam daftar calon legislatif sesuai dengan Pasal 1 Undang-undang Partai Politik. A. Latar Belakang MasalahSetiap manusia memiliki hak yang melekat pada dirinya yaitu hak asasi manusia. Hak yang wajib dihormati, dijunjung tinggi, dan dilindungi negara seperti perlindunagn terhadap hak untuk hidup, hak berkeluarga dan melanjutkan keturunan, hak untuk mengembangkan diri, hak keadilan, hak kemerdekaan, hak keamanan, hak kesejahteraan, dan hak turut serta dalam pemerintahan.Hak asasi manusia pertama kali diperjuangkan di Inggris, melalui Magna Charta (1215), kemudian Bill of Rights (1689), Declaration Des Droit De L’homme et du Citoyen (1789), dan Declaration Universal of Human Rights (1948).Indonesia telah memperjuangkan hak asasi manusia sejak 1945, bahkan jauh sebelum Declaration Universal of Human Rights yang lahir tahun 1948. Salah satunya adalah hak turut serta dalam pemerintahan yang tercantum dalam Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 27 ayat 1 dijelaskan bahwa “Segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung tinggi hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya”. Artinya, setiap orang berhak turut serta dalam pemerintahan tanpa perbedaan apapun termasuk perbedaan jenis kelamin.Indonesia mengakui adanya Convention on The Elimination of All Forms of Discrimination Against Women (CEDAW) tahun 1979 dan Indonesia pun telah meratifikasi Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) tentang Hak Politik Perempuan (UN Convention on Political Rights of Women) tahun 1952 melalui Undang-undang Nomor 68 Tahun 1956. Kebijakan negara tentang perempuan justru mengukuhkan ideologi jender yang berdampak dengan partisipasi politik perempuan menjadi sangat terbatas.Sejak diratifikasi pertama kali pada tahun 1984 melalui Undang-undang Nomor 7 Tahun 1984 CEDAW belum banyak diketahui oleh masyarakat Indonesia, khususnya aparat penegak hukum dan pemerintah yang membuat kebijakan.Pada Pasal 7 CEDAW menegaskan pengaturan persamaan dalam kehidupan politik dan kemasyarakatan di tingkat nasional sebagai berikut:Negara-negara Pihak harus mengambil semua langkah untuk menghapus diskriminasi terhadap perempuan dalam kehidupan politik, kehidupan kemasyarakatan negaranya, dan khususnya menjamin bagi perempuan, atas dasar persamaan dengan laki-laki, hak tersebut adalah sebagai berikut:a. Untuk memilih dalam semua pemilihan dan referendum publik, dan untuk dipilih pada semua badan-badan yang secara umum dipilih;b. Untuk berpartisipasi dalam perumusan kebijakan pemerintah dan pelaksanaannya, serta memegang jabatan publik dan melaksanakan segala fungsi publik di semua tingkat pemerintahan.c. Untuk berpartisipasi dalam organisasi-organisasi dan perkumpulan-perkumpulan non pemerintah yang berhubungan dengan kehidupan masyarakat dan politik negara.Perlu adanya persamaan hak antara laki-laki dan perempuan agar perempuan dapat berpartisipasi atas dasar persamaan dengan laki-laki dalam kehidupan politik, sosial, ekonomi dan budaya. Perempuan memiliki kapasitas dan kualitas yang sama dengan laki-laki apabila akses yang disediakan juga sama, agar tidak ada ketimpangan jender, ketidakadilan dalam hak kesempatan yang banyak merugikan perempuan. Perempuan mempunyai potensi untuk memajukan bangsa dan menentukan kehidupan berbangsa dan bernegara. Mengingat bahwa perempuan lebih banyak dari laki-laki, menurut sensus yang dilaksanakan Biro Pusat Politik (BPS) tahun 2000, jumlah perempuan di Indonesia adalah 101.625.816 jiwa atau 51% dari seluruh populasi atau lebih banyak dari total jumlah penduduk di ketiga negara Malaysia, Singapura dan Filipina. Apabila potensi perempuan tidak diakui dan keeksistensiannya tidak dijalankan secara maksimal maka negara akan kehilangan separuh atau sebagian dari potensi negara dalam usaha pembangunan negara Indonesia.Keterlibatan perempuan sangatlah penting dalam pencalonan anggota dan kepengurusan perempuan di parlemen, lembaga-lembaga lain sebagai wujud negara demokrasi untuk memperjuangkan aspirasi perempuan itu sendiri. Fakta yang dapat dilihat bahwa setiap partai politik tidak memaksimalkan keterwakilan perempuan. Jumlah perempuan yang ada di lembaga-lembaga atau institusi-institusi pengambil kebijakan masih sangat minim. Terkadang pula perempuan dijadikan alat mobilisasi politik untuk melestarikan kekuasaan partai yang berkuasa saat ini, dengan mengharuskan mereka menjadi anggota partai tersebut agar perempuan dapat duduk di kursi pemerintahan sebagai wakil-wakil rakyat. B. Pokok Permasalahan Permasalahan yang akan diangkat dalam tulisan ini yaitu mengetahui penerapan Pasal 7 Convention on The Elimination of All Forms of Discrimination Against Women tahun 1979CEDAW di Indonesia. C. Tinjauan Pustaka 1. Convention on the Elimination of All Forms of Discrimination Against Women atau CEDAW (Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Peremuan) CEDAW merupakan perjanjian internasional paling komprehensif tentang Hak Asasi Manusia tentang Perempuan yang menetapkan kewajiban yang mengikat negara Pihak secara hukum untuk mengakhiri diskriminasi terhadap perempuan, menyatakan persamaan hak-hak sipil, politik, ekonomi, sosial dan budaya antara laki-laki dan perempuan, serta menetapkan bahwa diskriminasi terhadap perempuan harus dihapuskan melalui langkah-langkah umum, kebijakan, program dan tindakan khusus sementara.Pada tahun 1979, Majelis Umum menetapkan Konvensi tantang Penghapusan Diskriminasi terhadap Perempuan. Prosedurnya, Tahun 1972, Sekretaris Jenderal PBB memberikan perintah kepada komisi tentang kedudukan perempuan agar negara-negara anggota memberikan pandangan mengenai bentuk dan muatan dari perangkat internasional tentang hak asasi perempuan. Tahun 1973, sebuah kelompok kerja ditunjuk oleh Dewan Ekonomi dan Sosial untuk meneliti pelanggaran terhadap konvensi. Pada 1974, komisi tentang kedudukan perempuan mulai membuat draft Konvensi Penghapusan Diskriminasi terhadap Perempuan. Kemudian pekerjaan komisi ini mendapat dukungan dari hasil konferensi dunia yang diselenggarakan tahun 1975. Tahun 1976, proses pembentukan Konvensi terus berlangsung dalam komisi. Pada tahun 1977, menindaklanjuti pembuatan draft instrument, Majelis Umum menunjuk kelompok kerja khusus untuk menyelesaikan masalah tersebut. Pada akhirnya, tahun 1979 pada tanggal 18 Desember 1979 Majelis Umum menyetujui Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan.Kemudian negara Indonesia meratifikasi CEDAW pada tahun 1984 melalui Undang-undang Nomor 7 Tahun 1984 di bawah kepemimpinan Presiden Soeharto. Selanjutnya, tahun 1999 pemerintahan Habibie meratifikasi Optional Protocol of Women Convention (OP-CEDAW). OP-CEDAW adalah instrumen hak asasi manusia yang melengkapi CEDAW dengan menetapkan dua prosedur tambahan yaitu prosedur komunikasi dan investigasi yang bertujuan untuk menunjukkan adanya pelanggaran terhadap hak asasi manusia melakukan upaya serius memperbaiki kebijakan pemberdayaan kaum perempuan melalui “pengarusutamaan jender” (gender mainstreaming).CEDAW mengatur persamaan dalam kehidupan politik dan kemasyarakatan di tingkat nasional di lembaga eksekutif dan legislatif yang diatur dalam Pasal 7 A dan B CEDAW yaitu “States Parties shall take all appropriate measures to eliminate discrimination against women in the political and public life of the country and, in particular, shall ensure to women, on equal terms with men, the right:a. To vote in all elections and public referenda and to be eligible for election to all publicly elected bodies;b. To participate in the formulation of government policy and the implementation there of and to hold public office and perform all public functions at all levels of government”.Penulis melakukan penelitian dalam hal pelaksanaan dari Pasal 7 A dan B yang berkaitan dengan partisipasi perempuan dalam bidang politik di negara Indonesia berdasarkan konvensi internasional yaitu CEDAW. 2. Konsep JenderMemahami konsep jender harus dibedakan dengan kata jender dan kata seks (jenis kelamin). Pengertian jenis kelamin diarahkan pada penyifatan atau pembagian dua jenis kelamin manusia yang ditentukan secara biologis yang melekat pada jenis kelamin tertentu. Misalnya, laki-laki adalah manusia yang memiliki daftar berikut ini: memiliki penis dan memproduksi sperma; sedangkan perempuan memiliki alat reproduksi seperti rahim dan saluran untuk melahirkan, memproduksi telur, memiliki vagina, dan mempunyai alat menyusui. Alat-alat tersebut secara biologis melekat pada manusia laki-laki dan perempuan selamanya. Artinya, secara biologis alat-alat tersebut tidak bisa dipertukarkan antara alat biologis yang melekat pada manusia laki-laki dan perempuan. Secara permanen, hal itu tidak boleh berubah dan merupakan ketentuan biologis atau sering dikatakan sebagai ketentuan Tuhan atau kodrat. Pengertian jender adalah pembagian peran atau tanggungjawab manusia laki-laki dan perempuan yang telah ditetapkan secara sosial maupun budaya dan memiliki konsekuensi logis bagi munculnya paham mengenai pembagian peran antara laki-laki dan perempuan secara sosial dan budaya, contohnya tugas memasak dan mengasuh anak yang oleh budaya ditetapkan sebagai pekerjaan perempuan; pekerjaan berkebun dan bertukang ditetapkan sebagai pekerjaan laki-laki. Pembagian peran jender merupakan peran terbuka untuk dipertukarkan antara laki-laki dan perempuan. Artinya, ada laki-laki yang bertugas memasak dan mengasuh anak dan dapat pula perempuan bertugas berkebun dan bertukang. Perubahan peran itu dapat terjadi dari waktu ke waktu dan dari tempat ke tempat yang lain, serta dari satu kelas ke kelas yang lain. Itulah yang dikenal dengan konsep jender.Konsep jender adalah pembagian peran yang tidak bisa dilekatkan secara permanen oleh perempuan maupun laki-laki, karena dapat dipertukarkan dan terbuka. Penelitian ini pun melekat pada konsep jender bahwa dalam bidang politik pun perempuan dapat ikut andil berpartisipasi dan aktif tanpa perbedaan apapaun dengan laki-laki, tidak saja perempuan bertugas memasak dan mengasuh anak, tetapi perempuan dapat berperan di berbagai bidang. 3. Hak Partisipasi Politik Perempuan a. Partisipasi PolitikPartisipasi adalah sikap dan keterlibatan hasrat setiap individu dalam situasi dan kondisi organisasi, sehingga mendorong individu tersebut untuk mempunyai peran serta dalam pencapaian tujuan organisasi, serta mengambil bagian setiap pertanggungjawaban bersama.Pada umumnya dapat dikatakan bahwa “Politik (politics) adalah bermacam-macam kegiatan dalam suatu sistem politik (atau negara) yang menyangkut proses manentukan tujuan-tujuan dari sistem itu dan melaksanakan tujuan-tujuan itu”. Sistem politik itu pada umumnya terdapat 4 variabel:1. Kekuasaan, sebagai cara untuk mencapai hal yang diinginkan antara lain membagi sumber-sumber di antara kelompok-kelompok dalam masyarakat;2. Kepentingan, tujuan-tujuan yang dikejar oleh pelaku-pelaku atau kelompok politik;3. Kebijaksanaan, hasil dari interaksi antara kekuasaan dan kepentingan, biasanya dalam bentuk perundang-undangan;4. Budaya politik, orientasi subjektif dari individu terhadap sistem politik.Politik mencakup tujuan dari seluruh masyarakat bukan tujuan dari pribadi seseorang, politik juga menyangkut kegiatan berbagai kelompok termasuk partai politik dan kegiatan individu dalam merencanakan atau melaksanakan kebijakan-kebijakan.Ada beberapa pendapat mengenai partisipasi politik yaitu:Menurut Miriam Budiardjo, sebagai definisi umum dapat dikatakan bahwa:“ Partisipasi politik adalah kegiatan seseorang atau kelompok orang untuk ikut serta secara aktif dalam kehidupan politik, yaitu dengan jalan memilih pimpinan negara dan, secara langsung atau tidak langsung, mempengaruhi kebijakan pemerintah (public policy). Kegiatan ini mencakup tindakan seperti memberikan suara dalam pemilihan umum, menghadiri rapat umum, menjadi anggota suatu partai atau kelompok kepentingan, mengadakan hubungan (contracting) dengan pejabat pemerintah atau anggota perlemen, dan sebagainya”. Menurut H.Nie dan Sidney Verba dalam Handbook of Political Science:“By political participation we refer to those legal activity by private citizens which more or less directly aimed at influencing the selection of governmental personnel and/or the actions they take”.(Partisipasi politik adalah kegiatan pribadi warga negara legal yang banyak langsung bertujuan untuk mempengaruhi seleksi pejabat-pejabat negara dan/atau tindakan yang diambil oleh mereka). Menurut Samuel P. Huntington dan Joan M. Nelson dalam No Easy Choice: Political Participation in Developing Countries:“By political participation we mean activity by privace citizens designed to influence government decision making. Participation may be individual or collective, organized or spontaneous, sustained or soparadic, peaceful or violent, legal or illegal, effective or ineffective.”(Partispasi politik adalah kegiatan warga negara yang bertindak sebagai pribadi-pribadi, yang dimaksud untuk mempengaruhi pembuatan keputusan oleh pemerintah. Partisipasi bisa bersifat individual atau kolektif , terorganisir atau spontan, mantap atau sporadik, secara damai atau dengan kekerasan, legal atau illegal, efektif dan tidak efektif). Menurut penulis, jadi partisipasi politik adalah kegiatan pribadi priadi ataupun kegiatan kelompok untuk turut serta, mempengaruhi kebijakan-kebijakan yang dibuat oleh pemerintah di dalam sistem pemerintahan atau di luar sistem pemerintahan. Masyarakat atau rakyat sangat mempengaruhi sistem pemerintahan yang ada. Bila partisipasi politik dilakukan secara maksimal oleh setiap warga negara maka kebijakan akan berpihak pada mayoritas yaitu rakyat. b. Hak Partisipasi Politik PerempuanSehingga dapat dirumuskan bahwa hak partisipasi politik perempuan adalah hak asasi manusia khususnya perempuan dalam partisipasi politik dimana hak perempuan sebagai subjek yang mempunyai hak atas dasar kesetaraan jender yaitu setiap perempuan mampu melakukan sesuatu apabila dia mampu atau mempunyai kemampuan yang ada pada dirinya dalam partisipasi politik. Hak partisipasi politik perempuan dalam penelitian ini adalah hak untuk memilih dan dipilih dalam semua pemilihan dan referendum publik, berpartisipasi dalam perumusan kebijakan pemerintah dan pelaksanaannya serta memegang jabatan publik dan melaksanakan segala fungsi publik di semua tingkat pemerintahan. 4. Partai Politik Beberapa definisi mengenai partai politik antara lain:Carl J. Friedrich: “A political party is a group of human beings, stably organized with the objective of securing or maintaining for its leaders the control of a government, with the further objective of giving to members of the party, though such control ideal and material benefits and advantages”.(Partai politik adalah sekelompok manusia yang terorganisir secara stabil dengan tujuan merebut atau mempertahankan penguasaan terhadap pemerintahan terhadap bagi pimpinan partainya, dan berdasarkan penguasaan ini memberikan anggota partainya kemanfaatan yang bersifat idiil maupun materiil). R.H. Soltau: “A group of citizens more and less organized, who act as a political unit and who, by the use of their voing power, aim to control the government and carry out their general politicies”.(Partai politik adalah sekelompok warga negara yang sedikit bayak terorganisir, yang bertindak sebagai suatu kesatuan politik dan dengan mamanfaatkan kekuasannya untuk memilih bertujuan dan menguasai pemerintahan dan melaksanakan kebijaksanaan umum mereka). Sigmund Neumann dalam karangannnya Modern Political Parties mengemukakan definisi sebagai berikut:“A political party is the articulate organization of society’s active political agents, those who are control of governmental power and who compete for popular support with another group or groups holding divergent views.”(Partai politik adalah organisasi dari aktivitis-aktivis politik yang berusaha untuk menguasai kekuasaan pemerintahan serta merebut dukungan rakyat atas dasar persaingan dengan suatu golongan atau golongan-golongan lain yang mempunyai pandangan berbeda). Partai politik menyelenggarakan beberapa fungsi di dalam negara demokratis, yaitu:
- Partai sebagai sarana komunikasi politik.
Salah satu tugas dari partai politik adalah menyalurkan aneka ragam pendapat dan aspirasi masyarakat dan mengaturnya sedemikian rupa sehingga kesimpangsiuran pendapat dalam masyarakat berkurang.
- Partai sebagai sarana sosialisasi politik.
Partai politik mempunyai peranan sebagai sarana sosialisasi politik (instrument of political sosisalization). Proses sosialisasi politik mencakup proses melalui masyarakat dalam menyampaikan norma-norma dan nilai-nilai dari satu generasi ke generasi berikutnya. Proses sosialisasi politik diselenggarakan melalui ceramah-ceramah kenegaraan, kursus kader, kursus penataran, dan sebagainya.
- Partai politik sebagai saran recruitment politik.
Partai politik juga berfungsi untuk mencari dan mengajak orang yang berbakat untuk turut aktif dalam kegiatan politik sebagai anggota partai. Caranya ialah melalui kontak pribadi, persuasi, dan lain-lain. Juga diusahakan untuk menarik golongan-golongan muda untuk dididik menjadi kader yang di masa mendatang yang akan mengganti pemimpin yang lama (selection of leadirship).
- Partai politik sebagai saran mengatur konflik (conflict management)
Persaingan dan perbedaan pendapat masyarakat dalam negara demokrasi merupakan hal yang wajar, jika sampai terjadi konflik, partai politik berusaha untuk mengatasinya. Dengan demikian partai politik merupakan perantara yang besar yang menghubungan ketentuan-ketentuan dan ideologi sosial dengan lembaga-lembaga pemerintahan yang resmi dan yang mengaitkannya dengan aksi politik di dalam masyarakat yang lebih luas.Secara umum dapat dikatakan bahwa partai politik adalah suatu kelompok yang terorganisir mempunyai anggota-anggota di dalamnya dan mempunyai orientasi, niai-nilai, serta cita-cita yang sama, untuk memperoleh kekuasaan politik untuk memutuskan dan melaksanakan kebijakan-kebijakan negara. D. MetodeJenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian secara normatif yaitu dengan cara meneliti peraturan-peraturan perundang-undangan serta literatur-literatur yang berkaitan dengan masalah yang dibahas untuk dicari pemecahan masalah sehingga pemerintah Indonesia dapat melakukan upaya-upaya hukum dalam menanggulangi masalah hak perempuan dalam partisipasi politik.Penelitian ini merupakan studi yang mengkaji implementasi Pasal 7 A dan B CEDAW dalam hukum nasional Indonesia dengan gambaran secara nyata dan menyeluruh tentang obyek yang diteliti yaitu mulai dari partispasi politik perempuan dan juga keterwakilan perempuan di lembaga politik formal. Tipe penelitian yang digunakan adalah deskriftif.Menurut Winarno Surakhmad dalam Pengantar Penelitian Ilmiah bahwa tipe penelitian deskriftif adalah memusatkan diri pada pemecahan masalah-masalah yang ada pada masa sekarang yang aktual, dan data yang dikumpulkan yang mula-mula disusun, dijelaskan dan kemudian dianalisa. Metode Penelitian ini sering disebut motede analitik.Pendekatan masalah yang dilakukan dalam penelitian ini dengan cara pendekatan yuridis normatif yaitu penelitian yang didasarkan pada penelitian bahan pustaka antara lain buku-buku dan peraturan perundang-undangan dan melakukan penelitian untuk mendapatkan data pendukung yang berhubungan dengan permasalahan yang dibahas. E. Pembahasan1. Peraturan Perundang-undangan Berkaitan dengan Partisipasi Politik Perempuan Sebelum Lahirnya CEDAWa. UUD 1945Jauh sebelum CEDAW diratifikasi, negara Indonesia telah mendengung-dengungkan hak yang sama antara laki-laki dan perempuan dalam bidang politik yaitu untuk berpartisipasi dalam pemerintahan. Negara Indonesia telah menjamin partisipasi politik perempuan dalam UUD 1945, bahwa setiap warga negara memperoleh kesempatan dan manfaat yang sama untuk mencapai persamaan dan keadilan. Hak-hak politik warga negara tercantum dalam UUD 1945 BAB X Warga Negara Pasal 27 ayat 1 dan Pasal 28.Pasal 27 ayat 1 dinyatakan bahwa “Segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dengan tidak ada kecualinya”. Pasal 28 dinyatakan bahwa “Setiap orang berhak atas kemerdekaan berserikat dan berkumpul mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan dan sebagainya ditetapkan dengan undang-undang”. Kedua pasal tersebut menjamin bahwa setiap orang berhak atas turut serta dalam pemerintahan tanpa perbedaan apapun, namun sebenarnya ketentuan dari Pasal 27 ayat 1 UUD 1945 lebih menegaskan persamaan di muka hukum bukan prinsip persamaan antara laki-laki dan perempuan dalam berpartisipasi dalam kehidupan politik negara Indonesia. b. Undang-undang Nomor 68 Tahun 1958 Tentang Hak-hak Politik Perempuan
Pada tahun 1958, Indonesia meratifikasi Konvensi PBB mengenai Hak Politik Perempuan Tahun 1952 (Convention on Political Rights of Women) melalui Undang-undang Nomor 68 Tahun 1958, di masa pemerintahan Presiden Soekarno. Berdasarkan Konvensi Hak-hak Politik Perempuan tahun 1952 mengenai hak-hak politik perempuan, antara lain:
1. Berhak atas memberikan suara dalam semua pemilihan (Pasal 1 ).2. Berhak dipilih untuk pemilihan pada semua badan yang dipilih secara umum, dibentuk oleh hukum nasional (Pasal 2).3. Berhak memegang jabatan pemerintah dan melaksanakan semua fungsi pemerintah yang dibentuk oleh hukum nasional (Pasal 3).Pasal 1 Konvensi Hak-hak Politik Perempuan tersebut menjamin perempuan dalam memilih dalam semua pemilihan dengan memberikan suaranya langsung. Pasal 2 menjamin perempuan untuk dipilih dalam semua badan yang dipilih secara umum yang dibentuk oleh hukum nasional yaitu hukum perundang-undangan Indonesia seperti DPR, DPRD, dan DPD. Pasal 3 menjamin perempuan untuk memegang jabatan pemerintah seperti Presiden, Wakil Presiden, MPR, DPR, DPD, dan DPRD dan melaksanakan semua fungsi pemerintah tersebut sesuai dengan peraturan perundang-undangan di Indonesia.Undang-undang ini memberikan perempuan hak untuk memilih dan dipilih dalam lembaga legislatif negara yang mengatur bahwa setiap orang berhak ikut serta dalam pemerintahan secara langsung maupun tidak langsung melalui perwakilan yang dipilih secara bebas, dan berhak atas akses yang sama ke pelayanan umum yang disediakan oleh negara, dan mempunyai keinginan untuk menyamakan status laki-laki dan perempuan dalam pekerjaan dan pelaksanaan hak-hak politik atas syarat-syarat yang sama dengan laki-laki tanpa diskriminasi apapun 2. Peraturan Perundang-undangan Berkaitan dengan Pastisipasi Politik Perempuan Setelah Lahirnya CEDAW a. Undang-undang Nomor 7 Tahun 1984 Tentang Pengesahan tentang Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap perempuan
Pada tahun 1984, di bawah kepemimpinan Presiden Soeharto, Indonesia kembali meratifikasi Konvensi PBB mengenai Penghapusan terhadap Segala Bentuk Diskriminasi terhadap perempuan (Convention on the Elimination of All Forms of Discrimination Againts Women) atau sering disebut CEDAW melalui Undang-undang Nomor 7 Tahun 1984. Hak-hak perempuan dalam kehidupan politik di diatur dalam Pasal 7 huruf A dan B Undang-undang Nomor 7 Tahun 1984 yaitu: “Negara-negara peserta wajib membuat peraturan-peraturan yang tepat untuk menghapus diskriminasi terhadap perempuan dalam kehidupan politik dan kehidupan kemasyarakatan negaranya, khususnya menjamin bagi perempuan atas dasar persamaan dengan laki-laki, hak:
a. Untuk memilih dan dipilih;
b. Untuk berpartisipasi dalam perumusan kebijaksanaan pemerintah dan implementasinya, memegang jabatan dalam pemerintah dan melaksanakan segala fungsi pemerintahan di semua tingkat”.
Pasal 7 CEDAW menjamin hak partisipasi perempuan dalam dunia politik di Indonesia, dalam Pasal 7 huruf A dijelaskan bahwa perempuan dapat memilih dalam semua pemilihan dan referendum publik, dan untuk dipilih pada semua badan-badan yang secara umum dipilih. Menurut Kamus Hukum, Referendum berasal dari bahasa latin yaitu referre yang berarti “pemungutan suara secara langsung oleh rakyat tanpa Dewan Perwakilan Rakyat (DPR)”. Yang dimaksud dengan semua pemilihan dan referendum publik adalah aktivitas penyerahan suatu masalah pada orang banyak agar mereka menentukannya dalam hal ini masalah tersebut tidak diputuskan oleh rapat atau oleh parlemen; Penyerahan suatu masalah agar diputuskan dengan memungut suara umum dalam hal ini berarti meliputi segenap rakyat (publik) atau seluruh anggota perkumpulan.
Semua pemilihan dan referendum publik berdasarkan Pasal 7 huruf A CEDAW di negara Indonesia yaitu pemilihan yang melibatkan orang banyak untuk ikut serta memilih siapa yang akan duduk di pemerintahan dengan melakukan Pemilihan Umum (Pemilu). Pemilihan Umum di negara Indonesia digunakan untuk memilih Presiden dan Wakil Presiden, anggota DPR, DPD, dan DPRD. Lembaga-lembaga tersebut adalah badan-badan yang secara umum dipilih. Sedangkan untuk pemilihan Gubernur tingkat provinsi, Walikota/Bupati tingkat Kotamadya atau Kabupaten mengunakan Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada).
Disebutkan pula dalam CEDAW Pasal 7 huruf B yaitu berpartisipasi politik terhadap proses kebijakan, pengambil kebijakan dan pelaksanaannya. Terkait dengan hal tersebut adalah Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) yang anggota-anggotanya dianggap mewakili rakyat yang merumuskan kemauan rakyat atau keamanan umum dengan jalan menentukan kebijaksanaan umum (public policy) yang mengikat seluruh rakyat untuk mengeliminer segala permasalahan dalam berbagai bidang pada umumnya dan permasalahan perempuan yang cukup kompleks pada khususnya yang dihadapi perempuan dan juga anak. Selanjutnya memegang jabatan publik dan melaksanakan segala fungsi di semua tingkat pemerintahan, yaitu dengan ikut andil dalam proses pengambil kebijakan dan pelaksanaannya di semua tingkat pemerintahan.
b. Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia
Tahun 1999, Indonesia mengeluarkan Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia berpedoman Declaration Universal of Human Rights atau Deklarasi Universal tentang Hak Asasi Manusia (DUHAM) tahun 1948. DUHAM ini sebagai suatu standar umum keberhasilan semua bangsa dan negara untuk mencapai kemajuan dalam menghargai hak-hak asasi manusia.
DUHAM mengatur hak partisipasi politik yang tercantum di dalam Pasal 23 dan 24 yaitu:
Pasal 23 dinyatakan bahwa:
1. Setiap orang berhak untuk memilih dan mempunyai keyakinan politiknya.
2. Setiap orang berhak untuk mempunyai, mengeluarkan, dan menyebarluaskan pendapat sesuai hati nuraninya, secara lisan dan atau tulisan melalui media cetak maupun elektronik dengan memperhatikan nilai-nilai agama, kesusilaan, ketertiban, kepentingan umum, dan keutuhan bangsa.
Pasal 24 dinyatakan bahwa:
1. Setiap orang berhak untuk berkumpul, berpendapat, dan berserikat, untuk maksud-maksud damai.
2. Setiap warga negara atau kelompok masyarakat berhak mendirikan partai politik, lembaga swadaya masyarakat atau organisasi lainnya untuk berperan serta dalam jalannya pemerintahan dan penyelenggaraan negara sejalan dengan tuntutan perlindungan, penegakkan dan pemajuan hak asasi manusia sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Hak-hak partisipasi politik dalam Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 terdapat dalam Pasal 43 yang menyatakan “Setiap warga negara berhak untuk dipilih dan memilih dalam pemilihan umum berdasarkan hak persamaan melalui pemungutan suara yang langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan”. Kemudian Pasal 46 menjamin keterwakilan perempuan dalam pemilihan badan legislatif, dan sistem pengangkatan di bidang eksekutif, yudikatif, legislatif, kepartaian, melaksanakan peranannya di bidang-bidang tersebut dan pemilihan umum menuju keadilan dan kesetaraan jender. Kedua Pasal tersebut sangatlah jelas menjamin perempuan berpartisipasi politik sesuai dengan Pasal 7 A dan B CEDAW bahwa setiap orang berhak untuk dipilih dan memilih dan menjamin keterwakilan perempuan di lembaga politik formal, yaitu badan eksekutif, yudikatif, dan legislatif atas dasar kesetaraan jender.
c. Undang-undang Nomor 31 Tahun 2002 Tentang Partai Politik
Permasalahan keterwakilan perempuan dalam memegang jabatan-jabatan tinggi mendapat perhatian yang baik dari pemerintah dengan dikeluarkannya Undang-undang Nomor 31 Tahun 2002 Tentang Partai Politik yang mengatur bahwa kepengurusan partai politik dipilih berdasarkan kesetaraan dan keadilan jender. Hal tersebut tercantum dalam Pasal 13 ayat 1 yaitu: “Kepengurusan partai politik di setiap tingkatan dipilih secara demokratis melalui forum musyawarah partai politik sesuai dengan anggaran dasar dan anggaran rumah tangga dengan memperhatikan kesetaraan dan keadilan jender”.
Pasal 13 ayat 1 Undang-undang Nomor 31 Tahun 2002 ini merupakan pegangan bagi setiap partai politik untuk menunjuk calon-calon yang akan duduk di kursi pemerintahan, karena negara Indonesia memakai sistem perwakilan berimbang (proporsional) bahwa jumlah kursi yang diperoleh satu partai sesuai dengan jumlah suara yang diperoleh, sehingga perempuan dapat dijadikan calon legislatif maupun eksekutif, namun kepengurusan partai politik tersebut sesuai anggaran dasar dan anggaran rumah tangga (AD/ART) partai itu sendiri dengan memperhatikan kesetaraan dan keadilan jender. Pasal tersebut dapat menjadi bias dan tidak ada ketegasan karena ada kata “memperhatikan” bukan “mewajibkan” sehingga masih ada partai politik yang lebih mendahulukan laki-laki daripada perempuan dalam kepengurusan partainya dan untuk mencalonkan wakil-wakilnya di semua tingkat pemerintahan. Partai seharusnya menjadi sarana untuk dapat meningkatkan pera perempuan dalam dunia politik melalui kepengurusan di partai politiknya. d. Undang-undang Nomor 12 Tahun 2003 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, dan Dewan Perwakilan DaerahPada Februari 2003, Indonesia kembali mengadopsi kebijakan kuota yang bersifat sukarela dalam Undang-undang Nomor 12 Tahun 2003 Tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, dan Dewan Perwakilan Daerah yang berkaitan dengan Pemilihan umum sebagai upaya untuk meningkatkan partisipasi politik perempuan dicantumkan dalam Pasal 65 dinyatakan bahwa “Setiap Partai Politik dapat mengajukan calon anggota DPR, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota untuk setiap Daerah Pemilihan dengan memperhatikan keterwakilan perempuan sekurang-kurangnya 30%”.Keterwakilan perempuan dalam lembaga-lembaga pengambil kebijakan, baik publik maupun negara sesuai Pasal 65 Undang-undang Nomor 12 Tahun 2003 ini seharusnya tidak hanya dalam taraf “diperhatikan” saja tetapi sudah dalam taraf “diwajibkan”, yang artinya setiap partai politik itu wajib memberikan 30 % hak perempuan yang sudah ditentukan. Menurut Centre for Electoral Reform (CETRO) dikatakan bahwa “Partai politik belum optimal meningkatkan keterwakilan perempuannya, proses ini tidak berjalan alami karena partai politik tidak sungguh-sungguh meningkatkan keterwakilan perempuan. Sehingga dapat dikatakan bahwa Undang-undang Nomor 12 Tahun 2003 dapat terlaksana jika tidak terlepas dari adanya komitmen partai politik sebagai penyedia calon legislatif perempuan. Hal tersebut mustahil terlaksana bila partai politik tidak mempunyai komitmen dan kesungguhan menominasikan calon legislatif perempuan. Karena dalam realisasinya jumlah perempuan yang ada dala lembaga/institusi-institusi pengambil kebijakan masih sangat minim, sehingga kebijakan yang ada kurang peka terhadap permasalahan perempuan. B. Implementasi Pasal 7 A dan B CEDAW Sesuai Hukum Nasional Indonesia 1. Implementasi Pasal 7 A CEDAW di IndonesiaPasal 7 huruf A dinyatakan bahwa “Negara Indonesia menjamin bagi perempuan, atas dasar persamaan dengan laki-laki, hak untuk memilih dalam semua pemilihan dan referendum publik, dan untuk dipilih pada semua badan-badan yang secara umum dipilih”.Pelaksanaan Pasal 7 huruf A CEDAW dalam hal perempuan memilih dalam semua pemilihan dan referendum publik, dan untuk dipilih pada semua badan-badan yang secara umum dipilih. Hak partisipasi politik salah satunya dalam Pasal 7 huruf A adalah hak memilih dalam pemilihan umum, perempuan menjadi tidak bebas dan jujur karena perkawinan. Mereka tidak dapat mengambil keputusan karena keputusan ada di tangan suami (laki-laki), bahkan untuk memilih dalam pemilihan umum berdasarkan apa yang dipilih oleh suaminya. Budaya patriarki yaitu ideologi kelelakian cenderung menguntungkan bagi kebanyakan laki-laki, karena dalam budaya ini laki-laki mempunyai peran yang utama dibandingkan dengan perempuan. Budaya inilah yang menjadikan perempuan tidak pantas atau tidak cocok untuk berpartisipasi dalam bidang politik karena keikutsertaan partisipasi perempuan tersebut dianggap sebagai hal yang buruk atau kotor. Hal tersebut mempengaruhi partisipasi politik perempuan dan timbul keengganan dari perempuan itu sendiri untuk berkecimpung maupun aktif di dunia politik.Hak partisipasi politik selanjutnya dalam Pasal 7 huruf A CEDAW yaitu untuk dipilih pada semua badan-badan yang secara umum dipilih yang dilakukan melalui pemilihan umum langsung untuk mewakili lembaga legislatif. Lembaga legislatif adalah lembaga yang secara umum dipilih seperti anggota DPR, DPD, dan DPRD. Perempuan dipilih melalui sistem kuota yang disusun dalam proses rekruitmen calon yang akan duduk di lembaga-lembaga tersebut dengan benar-benar menyeleksi sosok/tokoh yang mempunyai kuantitas dan kualitas yang baik sehingga perempuan yang dimunculkan tersebut tidak hanya menjadi pelengkap saja melainkan memang layak mewakili rakyatnya di lembaga pemerintahan karena kemampuannya.Pelaksanaan hak perempuan untuk dipilih sesuai Pasal 7 CEDAW di Indonesia dapat dibuktikan dengan berapa jumlah calon legislatif (caleg) perempuan dalam partai yang mengikuti Pemilihan Umum. Diambil contoh calon legislatif perempuan di Provinsi Lampung yang mengikuti Pemilihan Umum pada tahun 2004. Jumlah perempuan yang mewakili partai dalam pemilu tahun 2004 belum mencapai angka yang diharapkan, bahkan belum mencapai kuota sebanyak 30 % keterwakilan perempuan. Rata-rata perempuan yang menjadi calon legislatif provinsi tersebut terdapat pada nomor urut ketiga atau keempat, hanya beberapa partai saja yang mengusung nama perempuan sehingga banyak yang tidak mendapat suara. Saat ini, keterwakilan perempuan dalam lembaga legislatif dapat dilihat dari representasi perempuan di Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR-RI) dari tahun 1950 – 2004 dimana perempuan hanya memperoleh 9,0 % dari jumlah total wakil-wakil di DPR-RI. Ini adalah angka terendah jumlah wakil perempuan sejak Pemilihan Umum tahun 1987.Implementasi Pasal 7 A CEDAW di Indonesia mengenai hak perempuan untuk memilih dan dipilih dalam badan-badan secara umum dipilih berdasarkan data yang telah dikemukakan di atas belum optimal karena belum mencapai kuota 30 % dan partai politik sendiri tidak benar-benar memperhatikan kesetaraan jender untuk mengusung nama perempuan dalam calon legislatif sesuai hukum nasional Indonesia. 2. Implementasi Pasal 7 B CEDAW di Indonesia Pasal 7 huruf B yaitu dinyatakan bahwa “Negara Indonesia menjamin bagi perempuan, atas dasar persamaan dengan laki-laki, hak untuk berpartisipasi dalam perumusan kebijakan pemerintah dan pelaksanaannya, serta memegang jabatan publik dan melaksanakan segala fungsi publik di semua tingkat pemerintahan”.Pelaksanaan Pasal 7 huruf B CEDAW dalam hal berpartisipasi politik terhadap proses kebijakan, pengambil kebijakan dan pelaksanaannya. Terkait dengan hal tersebut adalah lembaga eksekutif. Lembaga eksekutif yang dimaksud terdiri dari Presiden dan Wakil Presiden serta Menteri-menteri dalam merumuskan kebijkan seperti Instruksi Presiden, Keputusan Presiden, Keputusan Menteri, Peraturan Pemerintah, dan Peraturan Daerah dengan jalan menentukan kebijaksanaan umum (public policy). Kemudian dalam memegang jabatan publik dan melaksanakan fungsi di semua tingkat pemerintahan baik pemerintah pusat yaitu Presiden dan wakilnya beserta Menteri-menteri dan pemerintah daerah yaitu Gubernur di tingkat Provinsi, Walikota maupun Bupati di tingkat Kabupaten/Kotamadya.Pada tahun 2001, negara Indonesia pernah merasakan mempunyai seorang Presiden perempuan yaitu Megawati Soekarno Putri dalam Kabinet Gotong-royong. Kabinet Gotong-royong yang dilantik tahun 2001 dan berakhir tahun 2004. Namun, keterwakilan perempuan hanya 2 orang dari total keseluruhan 33 anggota Menteri sesuai dengan tabel berikut ini:Adapun keterwakilan perempuan dalam lembaga eksekutif pada tahun 2004 dalam Kabinet Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan Yusuf Kalla hanya 11,11 % dari keseluruhan 36 anggota.Data berikut ini menunjukkan keterwakilan perempuan di tingkat provinsi di mana partisipasi politik perempuan di bidang politik dan pengambilan keputusan memang masih sangat rendah Perempuan yang Terpilih sebagai Bupati/Wakil Bupati, Walikota/Wakil Walikota hasil Pilkada 2005
Provinsi |
Kabupaten/Kota |
Tanggal |
Terpilih |
Dukungan Partai |
JATENG |
Kebumen |
05 Juni |
Rustriningsih dan M.Nasrudin Al Mansyur |
PDI-P |
DIY |
Gunung Kidul |
26 Juni |
Soeharto dan Ny Badingah |
PAN |
JATIM |
Banyuwangi |
20 Juni |
Ratna Ani Lestari dan Yusuf Nuris |
Koalisi 18 partai kecil |
SULUT |
Minahasa Utara |
20 Juni |
Vonny Panambungan dan Sonya Singai |
PD dan PKPI |
SULUT |
Tomohon |
20 Juni |
Jeferson Rumajan dan Lineke W |
PNBK, PKPB, PPD dll |
MALUKU |
Seram Timur |
23 Juni |
Abdullah Vanath dan Siti Umira |
PKPB, PKS, PKPI |
Sumber: CETRO, 2005 |
Berdasarkan data-data yang telah diuraikan di atas, Pelaksanaan Pasal 7 B CEDAW belum dapat dikatakan maksimal di Indonesia karena masih ada ketimpangan atau diskriminasi terhadap perempuan untuk berpartisipasi dalam perumusan kebijakan pemerintah dan pelaksanaannya, serta memegang jabatan publik dan melaksanakan segala fungsi publik di semua tingkat pemerintahan.
Hukum nasional yang mendukung CEDAW belum dilaksanakan karena partai politik tidak benar-benar memperhatikan kesetaraan jender untuk mengusung nama perempuan dalam calon legislatif sebagaimana Pasal 13 ayat 1 Undang-undang Nomor 31 Tahun 2002.
Kemudian pemenuhan kuota 30% sebagaimana tercantum dalam Pasal 65 Undang-undang Nomor 12 Tahun 2003 Tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, dan Dewan Perwakilan Daerah dicantumkan dalam belum maksimal atau belum diwajibkan oleh semua pihak terkait antara partai politik dan lembaga pemerintahan di Indonesia.
F. Kesimpulan1. Implementasi Pasal 7 CEDAW di Indonesia terdapat dalam beberapa ketentuan secara nasional seperti Undang-undang Nomor 7 Tahun 1984 tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan, Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia, Undang-undang Nomor 31 Tahun 2002 Tentang Partai Politik, dan Undang-undang Nomor 12 Tahun 2003 Tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, dan Undang-undang Nomor 23 Tahun.2. Jauh sebelum CEDAW diberlakukan, negara Indonesia telah mendengungkan persamaan partisipasi politik melalui UUD 1945. Namun ketentuan-ketentuan tersebut belum terlaksana secara maksimal dibuktikan dari partisipasi politik perempuan hanya sedikit dibanding laki-laki di kursi pemerintahan. 3. Pelaksanaan hak partisipasi politik perempuan sesuai Pasal 7 A dan B CEDAW belum dapat dikatakan maksimal di Indonesia karena sistem kuota 30 % belum menjadi “keharusan atau kewajiban” dalam pencalonan hak perempuan untuk berperan di lembaga-lembaga pemerintah sebagaimana tercantum dalam Pasal 65 UU Pemilu. Selain itu juga, partai politik tidak benar-benar “memperhatikan” kesetaraan jender untuk mengusung nama perempuan dalam daftar calon legislatif sesuai dengan Pasal 1 UU Parpol. 4. Daftar PustakaAchmad, Syamsiah. 2006. Committee Member CEDAW, dalam Lokakarya Women’s Human Rights and CEDAW (Makalah) jam 09:10-09.30. Budiardjo, Miriam. 2003. Dasar-Dasar Ilmu Politik. Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama. Jakarta. Fakih, Mansour, 1996. Analisis Gender dan Transformasi Sosial. Pustaka Pelajar. Hamzah, Andi, 1986. Kamus Hukum. Ghalia Indonesia. Jakarta. Kusnardi, Moh., dan Hermaili Ibrahim. 1983. Pengantar Hukum Tata Negara Indonesia. Pusat Studi Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Indonesia CV. Sinar Blanti. Jakarta. Komnas HAM, 2003. Lembar Fakta HAM Edisi 2, Komnas HAM. Jakarta. Mahfud, Moh. 2001. Dasar dan Stuktur Ketatanegaraan Indonesia Edisi Revisi. Rineka Cipta. Jakarta. Nasution, S., 1988. Metode Penelitian Naturalistik Kualitatif. Tarsito. Jakarta. Panjaitan, Hinca dan L. Hadi Pranoto, 2003. Cara Mudah Memahami Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden Secara Langsung. Warta Global Indonesia. Jakarta. Prinst, Darwan. 2001. Sosialisasi dan Diseminasi Penegakan Hak Asasi Manusia. Penerbit PT. Citra Aditya Bakti. Bandung. Yayasan Jurnal Perempuan, 2006. Sejauh Mana Komitmen Negara ? (Jurnal Perempuan), Nomor 45, Mei. Yayasan Jurnal Perempuan. Jakarta. YLBHI. 2006. Panduan Bantuan Hukum di Indonesia. YLBHI dan AusAID. Jakarta. Zen, A. Patra M. 2004. Ideologi dan Hak Asasi Manusia: Ideologi HAM (isme) atau HAM (isme) Sebagai Ideologi Politik? (Jurnal). Jurnal Diponogero, Nomor 74, Oktober. YLBHI. Jakarta. Convention on Political Rights of Women (Konvensi Tentang Hak-hak Politik Perempuan) Tahun 1952. Convention On The Elimination Of All Forms Of Discrimination Against Women (Konvensi Tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan) Tahun 1979. Optional Protocol of The Women Convention (OP-CEDAW) Tahun 1999. Undang-undang Dasar Tahun 1945. Undang-undang Nomor 68 Tahun 1956 tentang Hak-Hak Politik Perempuan. Undang-undang Nomor 7 Tahun 1984 tentang Pengesahan Konvensi tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan. Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia. Undang-undang Nomor 31 Tahun 2002 tentang Partai Politik. Undang-undang Nomor 12 Tahun 2003 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. Undang-undang Nomor 22 Tahun 2003 tentang Susunan dan Kedudukan Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. Undang-undang Nomor 23 Tahun 2003 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden. Undang-undang Nomor 32 Tahun 2003 tentang Pemerintah Daerah